“Berbicara mengenai pendidikan
akhir-akhir ini, yang terbaru adalah permasalahan UN. Entah UN jadi dihapuskan
atau tidak, masih menjadi perbincangan di kalangan para pendidik dan pelajar.
Lantas bagaimana tanggapan menteri pendidikan terkait problema yang sedang jadi
trending topic ini?”
Guys, paragraf
di atas hanya sekadar pertanyaan yang sering muncul di rubrik pelajar. Keren
bukan, pikiran anak muda sekarang ini makin berkembang. Dari paragraf itu
nanti, akan muncul sub-sub dan detail pertanyaan lain. Sudah banyak dan tidak
akan muat apabila saya berikan contohnya di sini.
On a group of
students –my friends and I– almost take ‘education destroying’ topic to talk.
Mulai dari pemimpin teratas pendidikan sampai yang menuntut ilmu. Saya selaku
penulis, menuliskan aspirasi ini untuk berbagi kepada pembaca–khususnya yang
kritis pendidikan Indonesia, bahwa di luar sana banyak sekali opini pelajar
tentang ‘amburadul pendidikan’ yang belum tertampung. Mana kotak-kotak
saran yang ditawarkan sekolah pada siswa? Nggak pernah ada pembahasan mengenai
“Rancangan Pembaharuan Sistem Kurikulum SMPN * Yk Tahun 2012/2013 versi Guru
dan Siswa SMPN * Yk” Bukankah sekolah adalah salah satu fasilitas siswa?
Sekolah tanpa siswa hanya bangunan kosong. Emang pemerintah nih, mau main-main
sama kemajuan generasi bangsa. Sekolah neng LUAR
NEGERI wae yo, sing ora AKEH ATURAN!
Seperti itulah pembicaraan yang pernah saya dengar dari siswa berseragam putih
biru di salah satu kafe. Medeni ra yen bocah SMP wae uwis kritis masalah ngudi
ilmu sing kudune entuk perhatian saka pemerintah! Kalau saya pribadi menanggapi
hal tersebut sih, setuju karena saya adalah pelajar normal. Bicara pendidikan
luar negeri, memang akhir-akhir ini terbuka lebar bagi pelajar Indonesia untuk
menimba ilmu di sana. Terlepas dari nasionalisme bangsa tentunya, justru ini
yang terbaik bagi kemajuan bangsa, bukan sebuah pengkhianatan karena kita lebih
memuja pendidikan luar negeri daripada Indonesia. Tetapi nilai riilnya untuk
masa depan. Kita tidak berada di negeri dongeng yang semuanya pasti akan happy
ending. Of course not, throw away, far far away from your mind! Contoh
sederhana yang nyata, Pak Habibie, sopo sing ora kenal, buka RPUL, buku PKn
kelas 4, buku sejarahmu! Presiden ketiga Indonesia yang sekolah di Jerman,
pulang-pulang buat karya pesawat –dihujat sama anak bangsa coba!– justru dibeli
sama orang Jerman. Penghujatan itu adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan
sesama anak bangsa lho, sadar nggak! Ngeri! Tapi bukan itu intinya,inti dari
permasalahan ini tetap pendidikan. Bagaimana caranya anak bangsa bisa
meningkatkan prestasinya terutama di kancah internasional tanpa ada
protes keras mengenai sistem pendidikan. Kalau tingkat protes aja mencapai 87% sementara perdamaian tersisa 13% menuju tidak sempurna, berarti ada yang salah dengan sistem
pendidikannya, bukan orang yang menuntut ilmu.
Mungkin Indonesia butuh disurvei oleh pakar pendidikan terbaik dari luar negeri, ya misalnya UK. Terlepas dari budayanya, hai para professor universitas UK ternama, adakanlah survei terbaik, termaksimal, terheboh mengenai sistem pendidikan di Indonesia berdasar sudut pandang, kemampuan dan ketekunan pelajar Indonesia. Tunjukkanlah jalan terbaik agar Indonesia mampu memperbaiki kekurangan pada dirinya, biarlah yang menjamin segalanya Tuhan YME.
Kalau bicara
soal pendidiknya…
Ada juga lho
teman saya yang pernah bilang, “guru yang pandai memanah itu mengajarkan
ilmunya kepada semua muridnya dan mengharuskan muridnya lulus dalam ujian memanah
sesuai teknik yang diajarkan padahal yang terbaik di kelas memanah hanya
Arjuna.” Nyesek banget ya, berarti kemampuan setiap siswa itu rata-rata sama,
hanya metodenya yang berbeda, ya kalau dinyatakan tanpa ungkapan gini,
“kebanyakan guru menilai muridnya cuma dari the main of point of view, aku
nyesek banget nilaiku lebih jelek dari dia gara-gara nilai ujian praktiknya
lebih baik, padahal nilai keseharianku juga baik, rajin ngumpul tugas!”
Wah, kamu
sekolah cari ilmu atau nilai? Atau gengsi-gengsian? ;) kita bahas di post
berikutnya ya.
Regard,
Fifi